Pentersangkaan Paket Kilat Untuk Ambon Fanda
Oleh: Andreas Lucky Lukwira, Kriminolog Peneliti Suporter
Minggu (29/1) terjadi kericuhan di kantor Arema FC. Kericuhan serupa sempat terjadi beberapa minggu sebelumnya saat Aremania yang melakukan demo di kantor Arema FC yang sama dihadang dan dibubarkan beberapa orang diduga preman, namun tidak ada upaya hukum yang diambil polisi. Berbeda dengan peristiwa sebelumnya, peristiwa 29 Januari 2023 aparat Polresta Malang dengan sigap mengamankan seratusan orang dan membawanya ke Maporesta Malang.
Selama semalam mereka menjalani proses pemeriksaan hingga akhirnya keesokan harinya (senin 30/1) 7 orang dari mereka dijadikan tersangka. 5 orang menjadi tersangka dugaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang (170 KUHP), 2 orang sisanya tersangka dugaan penghasutan (pasal 160 KUHP).
Soal pasal 170 KUHP, saya tidak akan berkomentar banyak. Penyidik tentunya akan mudah menentukan apakah seseorang melakukan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang, karena faktanya memang terjadi bentrokan bahkan upaya perusakan kantor Arema FC. Belum lagi bukti rekaman akan memperkuat penyidik menentukan siapa tersangkanya. Dan tentunya bukti kerusakan di kantor Arema FC dan visum terhadap korban akan memperkuat penyidik menemukan unsur kekerasan secara bersama-sama.
Namun agak unik terkait penetapan tersangkaa dugaan penghasutan, yakni Ambon Fanda. Penetapan Ambon Fanda menjadi tersangka menurut saya terlalu cepat. Sebelum membahas soal cepatnya pentersangkaan Ambon Fanda, kita baca bersama-sama isi pasal 160 KUHP; “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”.
Unsur barang siapa tentunya merujuk ke seseorang, kita anggaplah itu Ambon Fanda dan 1 orang tersangka lain.
Unsur dengan lisan atau tulisan, penyidik tentunya harus membuktikan bahwa orang yang menjadi tersangka melakukan upaya secara verbal (lisan) maupun tulisan. Aktfinya Ambon Fanda dalam memperjuangkan keadilan untuk korban Kanjuruhan tentunya bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Namun unsur MENGHASUT melakukan tindak pidana merupakan unsur yang harus secara hati-hati ditemukan penyidik. Pengalaman penulis menangani perkara yang terkait kata-kata atau kalimat baik lisan maupun tulisan, seperti pencemaran nama baik, penghasutan, hingga penistaan, penyidik akan berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Prosesnya lebih panjang (jika tidak mau dibilang sulit) dibandingkan tindak pidana yang menimbulkan luka fisik atau kerusakan fisik seperti kekerasan atau persetubuhan.
Penyidik biasanya akan memanggil ahli bahasa untuk mengetahui apakah kata-kata tersebut masuk ke dalam unsur menghasut. Atau jika dalam bentuk kalimat, apakah kalimat tersebut masuk ke dalam unsur hasutan. Apalagi jika kata atau kalimat tersebut menggunakan bahasa daerah, tidak jarang penyidik akan memanggil ahli budaya atau ahli sosiologi untuk memperkuat sangkaannya.
Sebagai contoh, kata janc*k bisa berarti makian, bisa juga berarti sapaan akrab jika jarak sosial antara kedua penutur sangat akrab. Hal ini tentunya memerlukan penguat argument sangkaan dari keterangan ahli.
Hal ini penting karena ada adagium yang dianut banyak penyidik yang penulis temui, yakni lebih baik membebaskan seribu orang bersalah ketimbang menahan satu orang tidak bersalah. Karena penahanan sebagai bentuk penghilangan kemerdekaan yang legal tentunya akan menjadi tidak adil atau tidak benar jika ternyata penahanan tidak berdasarkan adanya dugaan pidana yang kuat.
Maka penyidik Polresta Malang sebaiknya memperkuat dulu unsur-unsur pidana dengan memanggil ahli-ahli terkait dugaan penghasutan. Karena jika menyimak rentang waktu diamankannya Ambon Fanda hingga menjadi tersangka terlihat sangat singkat, hanya sehari setelahnya Ambon Fanda, dan 1 orang lain, menjadi tersangka.
Apakah dalam rentang waktu tersebut sudah ada undangan klarifikasi ke Ambon Fanda? Apakah sudah diperkuat dengan keterangan saksi ahli bahasa, ahli budaya, dan ahli sosiologi?
Apakah dalam beberapa aksinya ada kata-kata atau kalimat Ambon Fanda yang memang menghasut orang melakukan tindak pidana seperti yang terjadi di kantor Arema FC? Sedangkan informasi yang sudah dikonfirmasi penyidik, Ambon Fanda tidak ada di TKP saat terjadi kerusuhan.
Jika tidak, tentunya akan menjadi celah bagi penasehat hukum tersangka dalam melawan di peradilan nantinya. Atau malah jika mereka mengajukan pra peradilan atas penetapan tersangka Ambon Fanda, sangat mungkin menjadi celah bagi digugurkannya status tersangka Ambon Fanda karena penetapan tersangkanya tidak melalui prosedur yang sesuai.
Belum lagi temuan ada rekan penulis yang mengaku ditahan selama 24 jam lebih, tepatnya 29 jam, sebelum kemudian dilepaskan karena tidak memenuhi unsur untuk dinaikan statusnya menjadi tersangka. Hal ini tentunya menjadi catatan bagi penyidik karena menurut KUHAP penyidik hanya punya waktu penahanan maksimal 24 jam sebelum menetapkan status seseorang sebagai tersangka atau tidak (dilepas).
Sekali lagi penyidik harus ingat kembali adagium yang biasa mereka anut; lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tidak bersalah.